Cerita Pendek

CERPEN: Terusir dari Bumi Tuhan

“Woy, pergi. Jangan tidur di sini!” bentak seorang Satpam. Kemarahannya meluap ketika mendapati Gondo tidur, mendengkur di emperan ruko yang di jaganya.

Hujan masih saja mendera. Sore itu, gelap datang lebih cepat ketimbang sore-sore sebelumnya. Padahal masih pukul lima.

Gondo menegakkan badan. Pak Satpam, dengan tampang berang berdiri mengawasi. Udara yang dingin membuat Gondo bergerak begitu lamban. Pak Satpam jengkel dibuatnya. Lalu didorongnya Gondo hingga terhuyung, tersungkur di aspal jalanan. Lututnya luka. Badannya basah diserang hujan yang tak berkesudahan.

Gondo kembali mencoba bangkit berdiri. Dia berjalan pergi tanpa tahu arah dan tujuan. Tak tahu kemana. Dan harus bagaimana. Dia hanya butuh tempat untuk beristirahat. Kejadian sore itu membuat malamnya begitu berat. Rumah sudah tak ada. Orang tua pun entah kemana.

Dimasukinya komplek perumahan. Untuk sekadar mencari tempat merebahkan diri. Dikejauhan, dilihatnya sebuah langgar yang tak begitu besar. Dia lalu memutuskan untuk berteduh dilanggar itu.

“Sepi,” ucapnya dalam hati. Kepalanya tengak-tengok ke segala arah. Memastikan kalau situasi benar-benar aman. Baru setelah itu dia membaringkan diri.

Gondo tidak tidur. Sambil terisak air mata, pikirannya melayang kemana-mana. Mengingat-ingat peristiwa yang telah dilaluinya seharian ini.

*** *** ***

Pagi buta, Darto tiba-tiba datang. Dia adalah pemilik rumah kontrakan yang ditinggali Gondo dan ibunya.

“Dok, dok, dok!” diketuknya pintu rumah kencang-kencang. “Buka!” teriaknya.

Gondo yang lagi pulas terpaksa bangun karena suaranya. Saat pintu dibuka, tampak Darto berdiri tegap seperti harimau lapar.

“He, tole, mana ibumu!” tanya pak darto dengan geram. Matanya melotot. Posisi tangan bertolak pinggang.

“Ibu belum pulang,” jawab Gondo dengan ketakutan. Dia menyembunyikan badannya di balik pintu yang terbuka separuh saja.

“Aku tidak peduli!” bentak Darto. “Siang ini segera bayar ini kontrakan. Kalau tidak, kalian angkat kaki dari sini!”

Gondo tidak mengerti maksud semua itu. Dia hanyalah anak-anak. Usianya saja baru 14 tahun. Dia seharusnya bermain bersama teman-temannya. Belajar di bangku SMP. Seperti anak-anak lain seusianya. Tapi apa daya, Gondo hanya bisa sekolah hingga tamat SD. Mau melanjutkan pun percuma. Sama sekali tidak ada dananya.

Gondo memang terlahir dari keluarga yang miskin. Tidak selesai dengan itu saja, rumah tangga orang tuanya pun juga berantakan.

Dulu ketika orang tuanya masih lengkap, bapaknya kerja serabutan. Setiap malam pasang nomer, berjudi dan mabuk-mabukan. Kalau ada rejeki lebih, malah dipakainya untuk main perempuan. Saban hari selalu pulang pagi. Dengan badan sempoyongan. Dan selalu disambut omelan oleh sang istri. Lama-lama si bapak tidak kerasan. Suatu hari, bapaknya pergi. Dan tak pernah kembali lagi. Saat itu terjadi, Gondo masih kelas 6 SD.

Sedangkan ibunya, dulu adalah buruh cuci pakaian. Kadang juga tukang setrika. Setelah suaminya minggat, dia diajak marni sahabatnya untuk jual diri.

“Jadi babu itu capek, sulit, duitnya pun cuma dikit. Mending ikut aku. Setiap malam hepi-hepi,” ujar Marni dengan nada menggoda.

Awalnya si ibu menolak. Tapi kondisi ekonomi yang berantakan dan dilihatnya wajah lugu Gondo, dia akhirnya memutuskan untuk menjual diri.

*** *** ***

Siang pun akhirnya tiba. Darto kembali dengan didampingi beberapa orang bertampang garang.

“Pergi!” bentak Darto kepada Gondo. “Dan bilang ibumu soal ini!”

Gondo pun akhirnya pergi. Dia berjalan menuju rumah bordil tempat ibunya bekerja. Setiap langkahnya diiringi tangisan yang tak henti-henti. Sesampainya di sana, dia ketemu dengan lelaki setengah tua dengan perut buncit, mucikari di rumah bordil itu.

“Ibumu lagi kerja!”  pekik lelaki itu. Aroma alkohol berhamburan dari mulutnya. Suaranya lantang. Membuat semua PSK yang ada di situ saling pandang memandang. “Sudah pergi sana!” teriaknya. Gondo pun pergi dengan rasa takut yang menghantui.

*** *** ***

“Dasar gembel! Pergi!” teriak seseorang yang tiba-tiba muncul entah darimana. Gondo terperanjat. Dia terbangun dari lamunannya. “Ini rumah tuhan!” teriak orang itu lagi. Dia geram melihat gondo yang berbaju butut dan bercelana rombeng, telungkup nyaman di pinggiran langgar. Gondo cepat-cepat berdiri. Dia khawatir kejadian di emperan ruko terulang kembali. Lalu dia bergegas pergi.

Hujan masih saja berjatuhan. Gondo berlindung di sebuah halte bus kota. Dia duduk sembari merengkuh kedua lututnya. Tubuhnya menggigil kedinginan. Perutnya gemetar kelaparan. Air matanya lagi-lagi jatuh.

Lalu, suara adzan isya sayup-sayup terdengar di telinga. Dia jadi teringat  ketika dirinya masih kelas tiga. “Bumi beserta isinya adalah milik Allah SWT,” kata guru agamanya. Lantas, dalam hati dia bertanya:

“Ya Allah, kalau bumi beserta isinya adalah milikmu, kenapa aku tak boleh tidur di permukaannya, oleh mereka, barang sebentar saja?”

___________________
Baron Yudo Negoro
Seorang Buruh Swasta yang tinggal di Semarang

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?